CHAPTER 4
HARI YANG MERUBAH HIDUPKU PART 4
"Tenanglah Jen, kita pasti akan menemukan ayahmu, bibiku juga pasti sudah pergi bersama dengan warga yang lainnya." kataku menenangkannya.
Kami tidak ingin terpaku dengan kesedihan ini terlalu lama, lalu kami kembali ke desa untuk mengumpulkan mayat-mayat yang berserakkan itu, setelah kami kumpulkan menjadi satu, lalu kami menyalakan api dan membakar semua mayatnya agar tidak mengundang mahkluk jahat lainnya, kami berdua pun berdoa kepada dewa, agar para korban ini mendapat ketenangan di alam sana.
Setelah berdiskusi panjang lebar kamipun berdua memutuskan untuk melakukan perjalanan ke desa sebelah yang jaraknya lumayan jauh, mungkin para warga mengevakuasi diri kesana pikirku. Ketika kami bersiap melakukan perjalanan tersebut lalu aku teringat tentang gua kemarin, lalu kamipun sedikit merubah arah perjalanan kami ke tempat tersebut.
Sesampainya disana kami kaget bukan main, ternyata ukiran aneh yang berada di gua tersebut telah hilang, padahal tadi pagi saat kami ingin meninggalkan tempat ini aku masih melihatnya, lalu kenapa tiba-tiba bisa menghilang sekejap itu, padahal ukiran itu sepertinya sudah tua sekali, karena sudah ditempeli lumut-lumut hijau.
Hari sudah mulai gelap, terlalu bahaya jika kami melakukan perjalanan berdua, lalu kami memutuskan untuk bermalam lagi di gua ini, aku mencari kayu bakar lalu membuat sebuah api untuk menghangatkan tubuh kami, Jen pun membantu aku bekerja, dia memasak sebuah sup ikan yang sebelumnya dia tangkap di danau. Kami pun tidur berdua sambil dihinggapi rasa duka yang mendalam, semoga hari esok lebih baik lagi, doaku.
=========
Matahari telah terbit, terdengar kicauan burung dari luar gua, lalu kami bersiap-siap melakukan perjalanan kami yang tertunda itu. Didalam perjalanan kami bertemu dengan regu tentara kerajaan, mereka semua berkuda dan berjumlah 10 orang, lalu seorang yang terlihat paling kuat itu menghampiri kami, kukira dia adalah kaptennya. Sepertinya mereka sedang melakukan perjalanan ke desa kami.
"Hei dik, apa kalian tahu apa yang terjadi di desa pinggir danau itu?" dia bertanya pada kami. Lalu aku menceritakan semua kejadian yang aku tahu, mendengar hal tersebut cukup membut mereka tercengang. Ketika ku tanya kenapa mereka mau kesana, mereka menjawab kalau mereka mendapat laporan dari sekelompok warga yang sedang melakukan perjalanan ke desa Woodtree, desa terdekat dari desa kami. Mendengar hal tersebut membuat kami lega, ternyata mereka semua masih hidup, mungkin mereka sekarang sudah aman berada disana.
Karena sudah tahu kondisi disana, lalu mereka memutuskan kembali ke Woodtree, dengan ramah merekapun menawarkan tumpangan kepada kami, kami menerima tawaran mereka dengan senang hati. Dalam perjalanan kami saling berbincang, dalam perbincangan tersebut kuketahui nama kapten tersebut, dia adalah Kapten Alex Vogel.
"Siapa namamu dik?" tanya kapten Alex kepadaku.
"Namaku Pjerre Swanhill".
"Swanhill?!! Apakah kamu kenal dengan Josef Swanhill??" tanyanya histeris.
"Yah, dia adalah kakak sepupuku. Memangnya anda mengenalnya?".
"Ahh, dia adalah pimpinanku di batalion, dia orang yang hebat, aku kagum padanya." cerita dia dengan berseri-seri.
Setelah melakukan perjalan cukup panjang sampailah kami ke Desa Woodtree, terlihat disana sudah berdiri sebuah camp penampungan, lalu aku dan Jen segera pamitan dan berterima kasih kepada mereka, setelah itu kami langsung mencari bibiku dan ayahnya Jen.
"Bibi Anne??!!!" teriakku.
"Ayaaah?!! Ayah dimana??!" teriak Jen tidak mau kalah dariku.
"Pjerre.. Jen!!" terdengar suara sahutan dikerumunan itu. Lalu kami berdua berlari kecil kearah suara itu, ah itu bibi ku dan ayahnya Jen, sukurlah mereka selamat saja. Aku langsung pergi memeluk erat bibiku, begitupun juga Jen yang memeluk erat ayahnya, seakan sudah lama sekali kami tidak pernah bertemu, kami menumpahkan air mata kami dipelukan hangat dari orang yang kami kasihi.
Aku dan Jen menceritakan semua kejadian yang telah kami alami tidak terkecuali ukiran monster itu, semua warga yang mendengar cerita tersebut sungguh kaget bukan main, dan tidak sedikit dari mereka yang ketakutan. Ada sedikit rasa bersalah dari kami, mungkin karena kami mahkluk itu telah terbangun dan menghancurkan desa.
Sungguh aku tak sanggup melihat wajah mereka, mungkin tidak sedikit dari mereka yang marah pada kami, tapi tidak sepenuhnya benar itu adalah kesalahan kami, apalagi mimpi dari Jen tersebut, itu adalah hal yang berada di luar logika kami. Dengan penuh penyesalan, kami mencoba untuk meminta maaf, mendengar hal tersebut tetua di desa kami menghampiri kami. Dia adalah nenek Wilhelmina, dia adalah tetua di desa kami sekaligus tabib, yang sudah lama kudengar kalau dia bisa melakukan sihir, entahlah aku tidak begitu percaya jika belum melihat secara langsung.
"Tidak apa, mungkin ini semua sudah ditakdirkan, kita tidak tahu apa yang terjadi sebenarnya, tidaklah seharusnya kita menyalahkan kedua anak ini." kata nenek Wil sambil menenangkan warga.
"Tentang mimpi Jen, aku pernah mendengarnya dulu, itu adalah sebuah kemampuan cenayang yang sangat langka, orang-orang yang bisa melakukan itu disebut seoarng Finder, konon mereka bisa mencari apapun yang ingin dicari didalam mimpi mereka, tapi karena kemampuan Jen masih lemah, kemungkinan kemampuannya telah menarik kekuatan jahat, kekuatan jahat itu lah yang mengontrol mimpi Jen, seolah-olah dia ingin diketemukan oleh seseorang." sambungnya kembali.
Masuk akal memang, Jen yang belum bisa mengendalikan kemampuannya malah ditarik kekuatan jahat yang lebih kuat darinya. Seakan-akan monster itu minta ditemui, dan dengan kehadiran kami, monster itu bisa terbangun dari tidurnya, tapi kenapa mereka tidak menyerang kami saja, kenapa mereka malah menyerang desa kami?
============
Keesokan harinya...
Hari sudah pagi, para warga sedang bersiap-siap kembali ke desa kami, setelah semalaman mereka berdiskusi panjang, akhirnya mereka memutuskan kembali ke desa, karena hanya tempat itu lah yang mereka punya sekarang. Semalam juga aku dan bibi berdiskusi berdua, kami memutuskan untuk pergi ke rumah anak perempuannya kak Melissande yang berada di kota Windsor, sebuah kota yang terkenal akan pusat perdagangan dan kerajinannya, sebenarnya bibi Anne ingin pulang ke desa, tapi aku meyakinkannya agar kami pindah saja, lagipula aku sendiri juga tak ingin tinggal disana selamanya, aku juga mempunyai masa depan, lagi pula aku sudah bertekad suatu hari nanti akan mencari ibu kandungku.
Aku bertanya pada Jen dan ayahnya, apakah mereka akan kembali, sepertinya mereka tidak ingin kembali kesana, ayahnya sadar bahwa Jen adalah anak yang istimewa, kemampuannya haruslah diasah karena mungkin itu akan menjadi tanggung jawab dia yang besar nantinya. Mereka memutuskan akan pergi ke kota pelabuhan Stamford, disana terdapat keluarga dari ayahnya. Sebenarnya bukan itu alasannya, mungkin ayahnya Jen ingin Jen masuk ke Akademi Arcana yang berada di dekat kota Stamford. Akademi Arcana adalah akademi yang terkenal dengan murid-muridnya yang memiliki bakat meramal, dan juga kemampuan sihirnya.
Sebelum kami masing-masing pergi ke tempat tujuan kami, Jen memintaku untuk datang menemui dirinya. Tentu saja aku mengiyakan, karena mungkin kami akan lama tidak jumpa, karena yang ku ketahui bahwa pendidikan sihir itu tidaklah sebentar, harus menempuh waktu pendidikan minimal 5 tahun.
"Pie.. Kita akan berpisah mulai hari ini, aku ingin kamu tidak melupakan ku, oleh karena itu ambilah ini." berkata Jen sambil mengadahkan tangannya yang tertutup itu, lalu ia membuka tanganya dan disana terdapatlah sebuah tali gelang berwarna merah, tali gelang itu yang sering Jen gunakan untuk mengikat rambutnya.
"Ahh, Jen, tapi ini kan pemberian ibumu" aku menolak barang itu dengan halus.
"Tidak Pie, ini untuk mu, ku berharap kamu tidak akan melupakan aku Pie.." pinta Jen.
"Baiklah Jen, tanpa benda kesayanganmu itu aku akan selalu ingat kamu Jen karena aku..." sebelum aku selesai bicara Jen dengan sigap mengecup bibirku dengan bibirnya, hangat sekali. Ini adalah ciuman pertamaku, akupun sangatlah senang dengan ciuman itu, aku tidak ingin melupakannya sama sekali.
"Haa, Jen.. Terima kasih" dengan sigap akupun memeluknya erat. "Aku, cinta kamu Jen..".
"Aku juga Pie.." jawabnya lembut. Kami berpelukan erat sambil menangis haru, lalu disambung dengan tawa kecil kami. Dan kami pun berciuman kembali.
===================
Akhirnya kami pun berpisah, sungguh sedih rasanya, disaat aku berbahagia mendapati orang yang kucinta, tapi sudah harus berpisah kembali.. Mungkin butuh waktu yang cukup lama sampai aku bisa bertemu dengan Jen lagi. Lalu aku bertekad atas nama pamanku, aku harus menjadi kuat agar bisa melindungi bibi ku dan Jen dikemudian hari. Dengan gagah berani kuacungkan pedang pamanku ke atas langit, sambil berjanji dalam hati aku harus menjadi kuat, dan ku berharap paman ku bisa melihatnya dari alam sana.
Bersambung..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar